(Link : Dokumen Laporan Survey Kepuasan Mahasiswa Fikom Uninus Genap 2020/2021)
Pendahuluan
Seperti halnya yang berlaku pada dunia bisnis produk, bisnis jasa pun, termasuk jasa pendidikan tinggi tentunya mengharapkan pelanggan yang diciptakannya dapat dipertahankan selamanya. Bahkan dalam jangka panjang, loyalitas pelanggan seharusnya menjadi tujuan bagi perencanaan pasar stratejik, dan juga dijadikan dasar untuk pengembangan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan yaitu keunggulan yang dapat direalisasikan melalui upaya-upaya pemasaran yang tepat. Dalam bidang bisnis misalnya, secara sederhana loyalitas sering dimaknai sebagai sikap positif konsumen terhadap sebuah merek, memiliki komitmen pada merek itu, dan bermaksud untuk meneruskan pembeliannya di masa mendatang (C. Mowen & Minor, 2002). Menurut konsep ini, artinya bila FIKOM-UNINUS mampu memelihara loyalitas mahasiswa secara terus menerus maka mereka dengan sadar akan memberitahu dan merekomendasikan saudaranya, tetangga sekitar, atau teman sekerjanya untuk melanjutkan studinya di FIKOM-UNINUS. Begitu pula sebaliknya bila mahasiswa merasa tidak puas terhadap maka akan menceritakan ketidakpuasannya itu kepada khalayaknya yang terdekat.
Dari sisi kelayakan tangible (kelayakan sarana-prasarana), berturut-turut 75.5% mahasiswa merasa sangat puas & puas terhadap dimensi aksesibilitasnya, 60.8% terhadap dimensi kecukupannya, dan yang terendah sebesar 59.2% ditujukan terhadap dimensi kualitasnya. Paling tidak terdapat dua jenis sarana-prasarana hal yang harus segera mendapat perhatian, yaitu jumlah/kondisi ruang kelas dan fasilitas praktikum/laboratorium. Temuan lainnya yaitu ada indikasi bahwa mahasiswa PS Ilmu Perpustakaan merasa “lebih terpuaskan” dibandingkan dengan mahasiswa PS Ilmu Komunikasi. Namun ketika dihadapkan pada kepuasan tentang sarana-prasarana yang ada, mahasiswa kedua program studi itu sama-sama menempatkan pada posisi terendah, yaitu berkisar antara 61.1% – 68%.
Dari sisi obyeknya terungkap sekira 79% mahasiswa FIKOM-UNINUS merasa sangat puas & puas terhadap kinerja atau pelayanan Dosen, diikuti kemudian 74.9% terhadap kinerja pengelola (pimpinan fakultas & program studi), 72% terhadap kinerja tenaga kependidikan (jajaran Tata Usaha), dan yang terendah (63.4%) adalah terhadap kelayakan sarana-prasarana yang tersedia. Sekali lagi terungkap jelas bahwa kondisi sarana-prasarana yang ada masih jauh dari harapan mahasiswa (failed to meet student expectations), dan harus segera dicarikan pemecahannya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa komitmen Dosen, pimpinan Fakultas & Program Studi dan jajaran Tenaga Kependidikan masih cukup tinggi untuk menampilkan kinerja dan pelayanan yang mendekati aspirasi mahasiswanya. Artinya ketiga komponen pengelola tersebut masih memiliki ikatan emosional yang tinggi terhadap FIKOM-UNINUS dan berusaha keras untuk untuk melaksanakan tugasnya secara bertanggung-jawab (Jaros, 2007).
Berikutnya dengan menggunakan pengukuran alternative, terpetakan, pertama, tingkat kepuasan mahasiswa terhadap Dosen FIKOM-UNINUS tergolong “tinggi”, namun masih diperlukan beberapa upaya perbaikan yang harus dilakukan Dosen untuk mencapai tingkat kepuasan “sangat tinggi”. Tingkat kepuasan tertinggi ditujukan terhadap tujuh indicator, yaitu: Dosen memberikan kesempatan berdiskusi/bertanya, peran Dosen sebagai wali studi, penguasaan materi/topik kuliah, urgensi pengetahuan/ketarampilan baru yang diperoleh mahasiswa, dan penjelasan Dosen tentang tujuan mata kuliah/SAP, kehadiran Dosen/semester dan ketepatan waktu kehadirannya. Ketujuh indicator tersebut masuk pada kategori kepuasan “sangat tinggi”. Paling tidak terdapat tiga indicator yang harus mendapat perhatian Dosen bila ingin meningkatkan kinerja dan sekaligus kepuasan mahasiswanya, masing-masing adalah: kejelasan nilai UAS mahasiswa, kesediaan untuk merespon permintaan penjelasan materi perkuliahan di luar jadwal, dan frekuensi asesmen terhadap tugas terstruktur yang diberikannya.
Kedua, kepuasan mahasiswa terhadap pengelola juga tergolong “tinggi”. Satu-satunya indicator kepuasan yang tergolong “sangat tinggi” adalah kehadiran pimpinan fakultas & program studi. Indikator kepuasan tertinggi lainnya, diantaranya adalah kebijakan yang memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk mengembangkan bakat/minatnya, menyuarakan pendapatnya dalam koridor kebebasan mimbar akademik, kehadiran/dukungan pimpinan dalam kegiatan kemahasiswaan, dan kemudahan perizinan untuk menyelenggarakan setiap kegiatan.
Skor kepuasan terendah ditujukan kepada indikator besaran SPP & biaya kuliah lainnya (seperti biaya UAS, UTS, bimbingan skripsi, dll) yang dipersepsikan masih terlalu tinggi. Skor kepuasan terendah lainnya yaitu berhubungan dengan koordinasi kebijakan dan aspek tata-kelola lainnya. Mahasiswa menilai masih adanya in-konsistensi kebijakan pimpinan fakultas dengan implementasinya pada tingkat prodi dan jajaran tata-usaha. Fakta ini merekomendasikan bahwa diperlukan adanya re-evaluasi terhadap sistim tata-kelola fakultas secara menyeluruh meliputi struktur dan mekanisme/prosesnya, terutama yang terkait dengan sistim pengendalian dan monitoring. Ketidakpuasan mahasiswa lainnya ditujukan kepada kurangnya pelibatan mereka dalam perumusan kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan langsung mahasiswa.
Ketiga, dibandingkan dengan dosen dan pengelola, kepuasan mahasiswa terhadap kinerja tenaga kependidikan (jajaran Tata-Usaha) berada pada peringkat terendah, walaupun secara keseluruhan skor kepuasannya masih tergolong “tinggi”. Kepuasan tertinggi ditujukan kepada pelayanan Tata-Usaha yang tidak membebani mahasiswa dengan “biaya ekstra” dalam setiap pengurusan administrasi, baik secara terselubung maupun terang-terangan. Temuan ini cukup menggembirakan karena merupakan tanda-tanda awal yang mengindikasikan integritas tenaga kependidikan dapat dipertangungjawabkan. Kepuasan tertinggi lainnya ditujukan kepada kompetensinya dan tidak berperilaku diskriminatif dalam melayani mahasiswa.
Namun demikian terdapat beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian karena dinilai oleh mahasiswa belum menampilkan kinerja yang optimal. Indikator tersebut diantaranya adalah menyiapkan fasilitas pembelajaran, kesiapan dalam melaksanakan perkuliahan pada waktu sore/malam hari, dukungan terhadap kegiatan kemahasiswaan, akses komunikasi di luar kampus, dan kesediaan melayani di luar jam kerja. Ketiga indikator terakhir mengindikasikan bahwa dimensi perilaku empathy tenaga kependidikan masih harus diperbaiki.
Terakhir, dibandingkan dengan terhadap dosen, pengelola dan tenaga kependidikan, kepuasan terhadap kelayakan sarana-prasarana berada pada posisi terendah. Kepuasan tertinggi ditujukan kepada kelayakan Mesjid kampus, keberadaan kantin, dan aksesibilitas mahasiswa terhadap ruang kelas dan perpustakaan. Tiga indikator pertama dapat dikatakan tidak berhubungan langsung dengan proses pembelajaran, sehingga bila dikeluarkan dari perhitungan maka skor kepuasan terhadap kelayakan sarpras menjadi makin rendah. Kepuasan yang tinggi ditujukan terhadap aksesibilitas ruang kelas dan fasilitas pembelajaran oleh mahasiswa, aksesibilitas terhadap perpustakaan fakultas mengindikasikan bahwa mahasiswa sebenarnya sering dan sangat memerlukan perpustakaan.
Namun sebaliknya terungkap bahwa kepuasan terhadap kelayakannya tergolong paling rendah. Kepuasan terendah ditujukan kepada fasilitas yang berhubungan langsung dengan proses pembelajaran, masing-masing yaitu kapasitas jaringan internet kampus (skor 0.58, kepuasan sedang), kelayakan fasilitas praktikum (skor 0.59, kepuasan sedang) dan kondisi perpustakaan fakultas (skor 0.61, kepuasan sedang). Karena ketiga fasilitas pembelajaran itu berhubungan dengan dana, maka sudah sepatutnya menjadi perhatian pihak Universitas dan Yayasan untuk memperhatikannya.
Simpulan & Rekomendasi
Hasil pengukuran kepuasan mahasiswa ini diharapkan dapat dijadikan rujukan alternative untuk menentukan langkah-langkah pemecahannya atau ditindak-lanjuti baik pada level strategis maupun operasional-teknis. Namun upaya itu tidak bisa dieksekusi sepenuhnya pada level fakultas dan program studi, karena beberapa indicator merupakan domain kewenangan Universitas dan bahkan Yayasan. Misalnya keluhan terhadap besaran SPP dan ketersediaan sarana-prasarana pembelajaran tidak mungkin diselesaikan pada level level fakultas dan program studi. Direkomendasikan pula agar Universitas mengembangkan model pengukuran, baik pada level konseptual maupun operasional, yang terintegrasi dan seragam untuk semua fakultas/program studi. Hasilnya akan terpetakan variasi tingkat kepuasan di masing-masing fakultas, sehingga kebijakan atau tindak-lajut yang ditetapkan tidak perlu seragam berlaku untuk semua fakultas seperti yang terjadi selama ini.
Dari sisi metode pengukuran, studi ini masih mengandung beberapa keterbatasan. Salah satunya karena tidak memperhitungkan aspek kepentingan mahasiswa. Maksudnya bisa saja kepuasan terhadap indicator tertentu sangat tinggi, namun bagi mahasiswa indicator tersebut tidak penting, atau sebaliknya tingkat kepuasannya rendah tetapi indicator itu sangat penting bagi mahasiswa. Oleh karenanya pada periode pengukuran berikutnya direkomendasikan untuk menginsersi pendekatan importance-performance analysis ke dalam metode pengukuran yang digunakan. Tujuannya agar langkah tindak-lanjut akan makin terarah dengan memprioritaskan terhadap beberapa indikator yang menunjukkan tingkat kepuasan rendah tetapi dianggap penting oleh mahasiswa. Krena kepuasan mahasiswa bersifat dinamis, seringkali potret sesaat tidak memberikan gambaran yang utuh. Oleh karenanya pengukuran kepuasan mahasiswa harus dilakukan secara teratur dan menggunakan model pengukuran yang sesuai dengan perkembangan perilaku mahasiswa dan memperhatikan kondisi lingkungan UNINUS sendiri.